Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara
telah menemui para petinggi operator telekomunikasi dalam dua kesempatan
terpisah. Pertemuan pertama dengan kubu Telkom dan Telkomsel. Setelah itu
dengan kubu oposisinya, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren Telecom dan
Hutchison 3 Indonesia.
Menurut I Ketut Prihadi, Anggota Komite Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang ikut mendampingi menteri dalam kedua
pertemuan itu, belum ada perubahaan sikap antara pemerintah dan para operator
yang berpolemik tentang penurunan biaya interkoneksi.
"Hasil pertemuan tadi kami hanya mendengarkan pendapat
dari para operator tanpa ada posisi baru," ujar Ketut saat berbincang
dengan detikINET sore ini, Senin (29/7/2016).
"Yang disampaikan oleh para operator kecuali Telkom
Group adalah bahwa tarif interkoneksi memang perlu turun. Tadi kami hanya
mendengarkan, belum ada tawaran apapun. Posisi pemerintah masih seperti yang
ada dalam surat ke para operator. Kita lihat saja perkembangannya besok setelah
rapat dengan DPR," paparnya lebih lanjut.
Sementara dalam kesempatan yang terpisah, President Director
& CEO XL Axiata Dian Siswarini masih mengharapkan ada kepastian terkait
penetapan biaya interkoneksi pasca pemerintah mengumumkan penurunan
interkoneksi.
"Kami sangat berharap Surat Edaran yang dikeluarkan 2
Agustus itu ditetapkan menjadi Peraturan Menteri (PM) dan mulai berlaku sesuai
jadwalnya yakni 1 September 2016," harapnya.
Menurutnya biaya interkoneksi yang tinggi di Indonesia
menyebabkan trafik komunikasi antar operator menjadi rendah. "Sekarang
untuk panggilan lokal seluler Rp 250 dan jarak jauh Rp 452. Angka yang
dikeluarkan regulator untuk 1 September adalah Rp 204 untuk lokal dan Rp 304
untuk jarak jauh. Ini sebenarnya masih jauh di bawah harapan XL, tetapi kami
tak masalah ditetapkan pada 1 September mendatang untuk kepastian menjalankan
roda bisnis," tukasnya.
Diungkapkannya, jika ditanya versi XL, biaya interkoneksi
untuk anak usaha Axiata ini Rp 65. "Itu kami pakai konsultan terkenal.
Tetapi kita sadar penetapan biaya interkoneksi tak bisa lihat sisi teknis saja,
ekonomis juga harus dilihat. Terlalu tinggi merugikan, terlalu rendah tak
menarik bagi investasi," jelasnya.
Dian pun menegaskan, XL siap menurunkan tarif ritel jika
biaya interkoneksi baru ditetapkan pada 1 September mendatang. "Sebenarnya
kita sudah turunkan tarif ritel untuk salah satu produk. Tadinya Rp 300-an per
menit sekarang menjadi Rp 31 menit. Kalau dilihat itu dibawah recovery cost
karena kita hitung tadi Rp 65. Kita jualnya Rp 100-an per menit," ulasnya.
Namun ia mengingatkan, biaya interkoneksi sebenarnya dalam
implementasi melalui kesepakatan business to business (B2B) antara operator,
sedangkan porsi pemerintah menetapkan ceiling. "Jadi itu nanti tak seragam
juga, tergantung negosiasi di lapangan," tukasnya.
Sementara President Director & CEO Indosat Ooredoo
Alexander Rusli saat pertemuan antara seluruh operator dengan Komisi I DPR,
menjelaskan bahwa penurunan biaya interkoneksi berperan penting dalam
penciptaan iklim kompetisi yang sehat, mengurangi hambatan bagi pelaku, serta
memacu industri untuk terus berusaha menjadi lebih efisien.
"Beri kami kesempatan untuk merasakan laba di luar
Pulau Jawa seperti 'kakak' di sebelah ini," kata Alex merujuk kepada
Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah dan Direktur Utama Telkom Alex J
Sinaga yang kebetulan duduk di sampingnya saat rapat dengan DPR pekan lalu.
Diungkapkan olehnya, interkoneksi menjadi salah satu
penghambat bagi Indosat bermain di luar Jawa. "Kita rugi di luar Jawa,
kalau biaya interkoneksi diturunkan, biarkan kami mencoba menawarkan produk
yang variatif ke pelanggan," keluh Alex Rusli.
Alex mengingatkan hitungan asimetris versi yang didengungkan
Telkomsel berbeda dengan best practice di global. "Terminologi asimetris
di dunia global seharusnya membuat operator dominan mengalah dengan operator
kecil. Asimetris di global pada dasarnya menjaga iklim kompetisi agar yang
dominan dan kecil tak terlalu jauh gap-nya. Kalau di sini pengertian
asimetrisnya beda," kata Alex.
Sekadar diketahui, biaya interkoneksi merupakan salah satu
komponen yang menjadi dasar tarif ritel yang dikenakan pada pelanggan. Selain
interkoneksi masih ada unsur lain, seperti margin keuntungan yang diharapkan
operator dan biaya promosi.
Setiap revisi biaya interkoneksi dilakukan, operator selalu
terbelah. Polemik makin pelik karena Menkominfo Rudiantara menggunakan strategi
mengeluarkan surat edaran ketimbang langsung memutuskan menetapkan menjadi PM
dari hasil biaya interkoneksi.
Suasana makin rumit karena Telkom Group yang menjadi acuan
hitungan sebagai operator dominan merasa proses perhitungan sudah meleset dari
agenda semula.
Telkom Group mengutip Surat DJPPI
No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 januari tentang permintaan
pendapat terhadap konsep Whitepaper Penyempurnaan Regulasi Tarif &
Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006 pada dasarnya mengatur
perhitungan interkoneksi secara asimetris.
Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam
pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang
sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.
Dalam Whitepaper juga dinyatakan data input biaya elemen
jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh
regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan yang akurat
dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.
Makin dramatis, Menkominfo Rudiantara diklaim oleh Telkom
Group tak pernah membalas surat keberatan yang dikirimkan oleh mereka beberapa
kali sejak 13 Juni hingga 12 Agustus 2016. Bahkan ketika ditemui siang ini,
menteri juga masih bungkam soal surat keberatan Telkomsel. (rou/ash)
sumber : http://inet.detik.com/read/2016/08/29/192849/3286368/328/interkoneksi-jadi-turun-lihat-saja-besok-di-dpr?_ga=1.150924470.1206539860.1472482052

Tidak ada komentar:
Posting Komentar